Monday, November 13, 2017

PENDIDIKAN ISLAM MASA DAULAH UMAYYAH



 PENDIDIKAN ISLAM MASA DAULAH UMAYYAH


A.  Daulah Umayyah
Secara bahasa kata “daulah” berasal dari bahasa Arab, yaitu dala-yadulu-daulah yang berarti bergilir, beredar atau berputar. Sedangkan secara istilah, daulah merujuk pada satu kelompok sosial yang menetap dan menguasai  suatu daerah tertentu. Sehingga daulah diartikan sebagai negara, pemerintahan, kerajaan, ataupun dinasti. Kata daulah sebenarnya bukan kata baku menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia.[1] Bentuk baku dari kata daulah adalah daulat. Namun untuk menunjuk kepada sistem pemerintahan Timur Tengah, kata daulah yang sering digunakan.
Sementara itu kata Daulah Umayyah merujuk pada satu pemerintahan (khalifah) yang didirikan oleh Muawiyyah bin Abu Sufyan pada tahun 41 H atau 661 M dan berakhir pada tahun 132 H atau 750 M. Kata Umayyah diambil dari nama Umayyah bin Abdi Syam bin Abdi Manaf yang merupakan seorang pemimpin suku Quraisy pada zaman jahiliyah. Mulai dari daulah ini, sistem pemerintahan muslim yang semula bersistem musyawarah (demokrasi) berubah menjadi sistem Monarchy Herdity (kekuasaan turun-temurun). Daulah Umayyah beribu kota di Damaskus.
Sejarah berdirinya Daulah Umayyah dimulai sejak terbunuhnya Khalifah Ustman lalu Ali dibaiat menjadi khalifah, terjadi konflik antara Ali dengan Muawiyah dan pecah dalam perang Siffin. Ketika pasukan Ali hampir menang, Amr Bin ‘Ash menasehati Muawiyah agar pasukannya mengangkat mushaf-mushaf Al-Qur’an untuk melakukan perdamaian. Akhirnya Ali menerima tahkim, sehingga terjadi perpecahan diantara pendukung Ali. Keputusan yang dihasilkan oleh wakil pihak Ali (Abu Musa Al-Asy’ari) dan pihak Mu’awiyah, justru memperkuat kedudukan Muawiyah dan golongan yang mendukungnya.[2]
Keberuntungan Muawiyyah berikutnya adalah keberhasilan pihak Khawarij membunuh Khalifah Ali sehingga jabatan khalifah setelah Ali dipegang oleh putranya yaitu Hasan bin Ali selama beberapa bulan akan tetapi karena tidak didukung pasukan yang kuat sedangkan pihak Muawiyah semakin kuat akhirnya dia melakukan perjanjian dengan Hasan bin Ali, isi perjanjian itu adalah bahwa pergantian pemimpin akan di serahkan kepada umat Islam setelah masa kepemimpinan Muawiyah berakhir. Perjanjian ini dibuat pada tahun 41 H atau 661 M dan tahun ini disebut ‘Am Jama’at, karena perjanjian ini mempersatukan umat Islam menjadi satu kepemimpinan politik yaitu kepemimpinan Muawiyyah.[3]
Diantara program besar Daulah Umayyah adalah perluasan wilayah Islam. Di zaman Muawiyah Tunisa dapat ditaklukan. Di sebelah Timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Axus dan Afghanistan hingga ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium dan Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Abdul Malik. Dia mengirim tentara menyeberangi sungai Axus dan berhasil menundukan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana, dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind, dan daerah Punyab sampai ke Maltan. Selanjutnya ekspensi secara besar-besaran dilanjutkan pada zaman al-Walid bin Abdul Malik. Sejarah mencatat bahwa masa pemerintahan al-Malik adalah masa ketentraman, kemakmuran, kertiban, dan kebahagiaan.[4]
Dalam bidang keagamaan, pada masa Daulah Umayyah ditandai dengan munculnya berbagai aliran keagamaan yang bercorak politik ideologis. Mereka itu antara lain golongan Syi’ah, Khawarij dengan berbagai sektenya: Azariqah, Najdat Aziriyah, Ibadiyah, Ajaridah dan Shafariyah, golongan Mu’tazilah, Maturidiyah, Asy’ariyah, Qadariyah, dan Jabariyah. 
B.  Perkembangan Pendidikan Islam Masa Daulah Umayyah
Pada masa Daulah Umayyah berkembangnya pendidikan Islam tidak lepas dari perluasan wilayah negara Islam yang diikuti oleh para ulama dan guru-guru agama yang juga ikut bersama-sama tentara Islam. Pada zaman Daulah Umayyah ada tiga gerakan yang berkembang, yaitu: Gerakan Ilmu Agama, karena didorong semangat agama sendiri yang sangat kuat pada waktu itu; Gerakan Filsafat, karena ahli agama di akhir Daulah Umayyah mempergunakan filsafat untuk melawan Yahudi dan Naṣrani; Gerakan Sejarah, karena ilmu-ilmu agama memerlukan riwayat.[5]
1.   Gerakan Ilmu Agama
a.    Pusat Pendidikan Islam
Pusat pendidikan telah tersebar di kota-kota besar seperti kota Makkah dan Madinah (Hijaz), di kota Baṣrah dan Kufah (Irak), di kota Damsyik dan Palestina (Syam), di kota Fistat (Mesir). Madrasah-madrasah yang ada pada masa Daulah Umayyah adalah sebagai berikut:
1)   Madrasah Makkah
Muaz bin Jabal adalah guru pertama yang mengajar di Makkah, sesudah pendudukan Makkah takluk. Ia mengajarkan al-Quran dan mana yang halal dan haram. Pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwa, Abdullah bin Abbas pergi ke Makkah dan mengajar di masjidil Haram, ia mengajar ilmu tafsir, fiqih dan sastra. Ia adalah pembangun madrasah Makkah. Kemudian ia digantikan murid-muridnya yaitu Mujahid bin Jabar (meriwayatkan tafsir Al-Qur’an dari Ibnu Abbas), ‘Athak bin Abu Rabah (ilmu fiqih terutama manasik haji), dan Thawus (seorang fuqaha dan mufti). Ketiga guru itu meninggal dan digantikkan oleh Sufyan bin ‘Uyainah dan muslim bin Khalid Az-Zanji. Keduanya adalah guru imam Syafi’i yang pertama. Kemudian ia hijrah ke Madinah berguru pada Imam Malik.
2)   Madrasah Madinah
Madrasah Madinah adalah tempat para sahabat menuntut ilmu. Adapun ulama-ulama di Madinah adalah Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Sabit, dan Abdullah bin Umar bin Khattab. Namun, yang aktif mengajar agama Islam adalah Zaid bin Sabit (ahli qiraat dan ahli fiqih, khususnya dalam faraid), dan Abdullah bin Umar (ahli hadits). Setelah para ulama wafat digantikan oleh murid-muridnya, tabi’in, yaitu Sa’id bin Al-Musaiyab (murid Zaid bin Sabit), dan ‘Urwah bin Az-Zubair bin Al-Awam. Sesudah tingkat tabi’in digantikan oleh Ibnu Syihab Az-Zuhri al-Quraisyi (ahli fiqih dan hadits). Madrasah Madinah ini melahirkan Imam Malik bin Anas, Imam Madinah.
3)   Madrasah Basrah
Ulama sahabat yang terkenal di Basrah adalah Abu Musa Al-Asy’ari (ahli fiqih, ahli hadis, dan ahli al-Qur’an) dan Anas bin Malik (ilmu hadis). Madrasah Basrah melahirkan ulama terkenal, besar, berbudi tinggi, saleh, fasih lidahnya, dan berani mengeluarkan pendapatnya, ia adalah Al-Hasan Basry (ahli fiqih, ahli pidato dan kisah, ahli fikir, serta ahli tasawuf). Ada pula Ibnu Sirin yang pernah belajar pada Zaid bi Sabit, Anas bin Malik, dan lain-lain. Ia ahli hadis dan hidup semasa dengan al-Hasan Basry.
4)   Madrasah Kufah
Ulama di Kufah ialah Ali bin Abu Talib dan Abdullah bin Mas’ud. Ali lebih banyak menangani politik dan urusan peperangan. Sedangkan Ibnu Mas’ud mengajarkan ilmu al-Qur’an dan ilmu agama, ia juga ahli tafsir dan ahli fiqih. Madrasah Kufah melahirkan Nu’man, Abu Hanifah.
5)   Madrasah Damsyik (Syam)
Madrasah Agama di Syam didirikan oleh Mu’az bin Jabal, ‘Ubadah dan Abud-Dardak. Ketiganya mengajar Al-Qur’an dan ilmu agama di negeri Syam pada tiga tempat, yaitu Abud-Dardak di Damsyik, Mu’az bin Jabal di Palestina dan ‘Ubadah di Hims. Selanjutnya mereka di gantikan oleh murid-muridnya, tabi’in, seperti Abu Idris Al-Khailany, Makhul Ad-Dimasyki, Umar bin Abdul Aziz dan Rajak bin Haiwah. Madrasah ini melahirkan imam penduduk Syam, yaitu Abdurrahman al-Auza’iy yang ilmunya sederajat dengan imam Malik dan Abu Hanifah. Namun, mazhabnya yang tersebar di Syam sampai ke Maghrib dan Andalusia lenyap karena pengaruh mazhab Syafi’i dan Maliki.
6)   Madrasah Fistat (Mesir)
Ketika Mesir telah menjadi negara Islam, Mesir menjadi pusat ilmu-ilmu agama. Di Mesir mempunyai madrasah yang didirikan oleh Abdullah bin ‘Amr bin al-‘As. Ulama-ulama yang ada di Mesir yaitu Yazid bin Abu Habib An-Nuby. Ia menyiarkan ilmu fiqhi dan menjelaskan apa saja yang haram dan halal dalam agama Islam. selain itu ada pula Abdullah bin Abu Ja’far bin Rabi’ah. Yazid mempunyai murid bernama Abdullah bin Lahi’ah dan al-Lais bin Said. Abdullah tidak hanya belajar kepada Yazid, tetapi juga kepada tabi’in. Sedangkan al-Lais pernah menuntut ilmu di Mesir, Makkah, Baitul-Maqdis, dan Baghdad. Ia bahkan berhubungan dengan imam Malik dan berkiriman surat.
b.   Materi Pendidikan Islam
Materi atau ilmu-ilmu agama yang berkembang pada zaman ini dapat dimasukan dalam kelompok Al-Ulumul Islamiyyah yaitu ilmu-ilmu Al-Quran, Al-Hadits, Al-Fiqih, At-Tarikh, Al-Ulumul Lisaniyyah dan Al-Jughrofi. Sedangkan Al-Ulumul Islamiyah dapat dibagi menjadi tiga bagian : Al-Ulumul Syar'iyah, yaitu ilmu-ilmu agama Islam; Al-Ulumul Lisaniyyah, yaitu ilmu-ilmu untuk memastikan bacaan Al-Quran, menafsirkan dan memahami Hadits; At-Tarikh wal Jughrofi.
1)   Ilmu Qira’at
Ilmu Qira’at yaitu ilmu cara membaca Al-Quran. Orang yang pandai membaca Al-Quran disebut Qurrā. Pada zaman ini pula yang memunculkan tujuh macam bacaan Al-Quran yang terkenal dengan "Qiraat Tujuh" yang kemudian ditetapkan menjadi dasar bacaan (Ushulul Lil Qira'ah). Pelopor bacaan ini terdiri dari kaum Malawy yaitu antara lain: ‘Abdullah bin Kathir, Ashim bin Abu Nujud, ‘Abdullah bin Amir, Ali bin Hamzah dan lain-lain.

2)   Ilmu Tafsir
Ilmu Tafsir merupakan ilmu yang berusaha untuk memberikan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Quran dengan tujuan untuk menghasilkan hukum dan undang-undang. Ahli tafsir yang pertama yaitu Ibnu Abbās, seorang Ṣahabat terkenal yang wafat pada tahun 68 H. Menurut riwayat yang mutawatir beliau adalah orang yang pertama menafsirkan Al-Quran dengan cara riwayat dan isnad. Ahli tafsir lainnya adalah Mujāhid yang wafat pada tahun 109 H dan ulama Syi'ah yaitu Muḥammad al-Baqir bin Ali bin Husain.
3)   Ilmu Hadits
Untuk membantu di dalam memahami ayat-ayat Al-Quran. Karena terdapat banyak hadith maka timbul-lah usaha untuk mencari riwayat dan sanad yang hadith yang akhirnya menjadi Ilmu Hadith dengan segala cabang-cabangnya. Para ahli hadith yang terkenal pada zaman ini adalah: Abu Bakar bin Muḥammad bin ‘Ubaidillah bin Zihab az-Zuhri (123 H). Ibnu Abi Malikiyyah, yaitu ‘Abdullah bin Abi Malikiyyah (119 H). Pada masa khalifah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azīz barulah hadith dibukukan yang dirintis oleh Ibnu Zihab az-Zuhri yang kemudian disusul oleh ulama lain.
4)   Ilmu Nahwu
Ilmu Nahwu adalah ilmu tentang perubahan bunyi pada kata-kata yang terdapat di dalam Al-Quran. Pengarang ilmu nahwu yang pertama dan membukukannya seperti halnya sekarang, yaitu Abu Aswad ad-Dualy (W. 69 H). Beliau belajar dari ‘Ali bin Abi Ṭālib sehingga ada ahli sejarah yang mengatakan bahwa ‘Ali bin Abi Ṭālib adalah Bapak Ilmu Nahwu.
5)   Ilmu Jughrofi
Tentang ilmu jughrofi sekalipun bukan berasal dari bangsa arab, namun bangsa Arab muslim telah membuat ilmu ini menjadi satu ilmu yang tersendiri oleh karena tiga sebab: Al-Hajj yang menjadi salah satu rukun Islam. Untuk menunaikan rukun haji kaum Muslimin di seluruh penjuru dunia harus mengetahui ilmu bumi; Al-Ilmu, kewajiban menuntut ilmu bagi kaum muslimin, mengharuskan mereka melakukan Rihlah Ilmiyah untuk menuntut ilmu, hal mana mengharuskan kaum muslimin mengetahui ilmu bumi; Dakwah, keharusan berdakwah dan berjihad untuk mengembangkan Islam, juga mengharuskan kaum muslimin mengetahui ilmu bumi. Tiga sebab ini disamping sebab-sebab lain yang mendorong orang Yunani lama untuk membuat ilmu bumi yaitu kepentingan dagang dan perang. Ilmu Jughrofi dalam masa Daulah Umayyah baru dalam taraf merintis jalan.[6]
Sedangkan ilmu-ilmu yang disalin dari bahasa Asing ke dalam bahasa Arab yang kemudian disempurnakan untuk kepentingan keilmuan umat Islam, dikelompok-kan dalam Al-Ulumud Dakhilah yang terdiri dari:
1)   Ilmu Kimia.
Khalifah Yazīdh bin Yazīdh bin Mu’āwiyyah adalah yang menyuruh penerjemahannya ke dalam bahsa Arab. Beliau mendatangkan beberapa orang Romawi yang bermukim di Mesir, di antaranya Maryanis seorang pendeta yang mengajarkan ilmu kimia. Penerjemahan ke dalam bahasa Arab dilakukan oleh Isthafun.
2)   Ilmu Bintang
Masih dalam masa Khālid bin Walīd, beliau sangat menggemari ilmu ini sehingga dikeluarkan sejumlah uang untuk mempelajari dan membeli alat-alatnya. Karena gemarnya setiap akan pergi ke medan perang selalu dibawanya ahli ilmu bintang.
3)   Ilmu Kedokteran
Penduduk Syam di jaman ini telah banyak menyalin bermacam ilmu ke dalam bahasa Arab seperti ilmu-ilmu kedokteran, mislanya karangan Qis Ahrun dalam bahasa Suryani yang disalin ke dalam bahasa Arab oleh Masajuwaihi.[7]
2.    Gerakan Filsafat
Gerakan filsafat muncul di akhir zaman Daulah Umayyah untuk melawan pemikiran Yahudi dan Nasrani. Pemikiran teologis dari agama Kristen sudah berkembang lebih dulu sebelum datangnya Islam dan masuk ke lingkungan Islam secara sengaja untuk merusak akidah Islam. Karena itu timbul dalam Islam pemikiran yang bersifat teologis untuk menolak ajaran-ajaran teologis dari agama Kristen yang kemudian disebut Ilmu Kalam.
Ilmu kalam dalam perkembangannya menjadi ilmu khusus yang membahas tentang berbagai macam pola pemikiran yang berbeda dari ajaran Islam sendiri, karena dalam Al-Quran terdapat banyak ayat yang memerintahkan untuk membaca, berfikir, menggunakan akal dan sebagainya yang kesemuanya mendorong umat Islam, terutama para ahlinya untuk berfikir mengenai segala sesuatu guna mendapatkan kebenaran dan kebijaksnaan.
3.   Gerakan Sejarah
Pada zaman Daulah Umayyah gerakan sejarah menghasilkan tarikh yang terbagi dalam dua bidang besar:
a.    Tarikh Islam, yaitu tarikh kaum muslimin dengan segala perjuangannya, riwayat hidup pemimpin-pemimpin mereka. Sumber tarikh dalam bidang ini adalah dari amal perbuatan mereka sendiri.
b.    Tarikh Umum, yaitu tarikh bangsa-bangsa lain yang dipelajari dan disalin dengan sungguh-sungguh sejak zaman Daulah Umayyah. Hal ini karena khalifah mereka termasuk orang-orang yang paling gemar untuk mengetahui orang-orang ternama dari tarikh bangsa lain.[8]
 C.  Pola Pendidikan Islam Masa Daulah Umayyah
Pada masa Daulah Umayyah terdapat dua jenis pendidikan yang berbeda sistem dan kurikulumnya, yaitu pendidikan khusus dan pendidikan umum. Pendidikan khusus adalah pendidikan yang dislenggarakan dan diperuntukkan bagi anak-anak khalifah dan anak-anak pembesarnya. Kurikulumnya diarahkan untuk memperoleh kecakapan memegang kendali pemerintahan, atau hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan keperluan dan kebutuhan pemerintahan. Tempat pendidikannya di istana dan guru-gurunya ditunjuk dan diangkat oleh khalifah dengan mendapat jaminan hidup (gaji). Sedangkan pendidikan khusus adalah pendidikan yang diperuntukkan bagi rakyat biasa. Pendidikan ini merupakan kelanjutan dari pendidikan yang telah dilaksakan sejak zaman Nabi masih hidup, ia merupakan sarana yang amat penting bagi kehidupan agama. Karena ia merupakan lanjutan dari pendidikan sebelumnya, maka kurikulum yang digunakan pun sama dengan kurikulum sebelumnya. Yang bertanggungjawab atas kelancaran pendidikan ini adalah para Ulama, merekalah yang memikul tugas mengajar dan membimbing rakya. Mereka bekerja atas dasar dorongan moral serta tanggung jawab agama, bukan atas dasar penunjukkan dan pengangkatan oleh pemerintahan. Karena itu mereka tidak memperoleh jaminan (gaji) dari pemerintah.
Pola pendidikan yang berkembang pada masa ini sebenarnya sama dengan pendidikan yang berkembang pada masa sekarang. Pendidikan yang ada pada waktu itu terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu, tingkat pertama, tingkat menengah, dan tingkat tinggi. Lembaga-lembaga pendidikan yang berkembang pada zaman Daulah Umayyah, selaibn masjid, kuttab, dan rumah sebagaiman yang telah ada sebelumnya, juga ditambah dengan lembaga pendidikan seperti Istana, Badiah, Perpustakaan, Al-Bimaristan, Kuttab, Masjid, dan Majelis Sastra.[9]
1.    Istana
Pendidikan di Istana bukan saja mengajarkan ilmu pengetahuan umum, melainkan juga mengajarkan tentang kecerdasan, jiwa, dan raga anak.
2.    Badiah
Lembaga pendidikan Badiah ini muncul seiring dengan kebijakan pemerintah Daulah Umayyah untuk melakukan program arabisasi yang digagas oleh khalifa Abdul Malik ibn Marwan. Secara harfiah Badiah artinya dusun badui di Padang  Sahara yang didalamnya terdapat bahasa Arab yang masih fasih dan murni sesuai dengan kaidah bahasa Arab.
3.    Perpustakaan
Perpustakaan tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan serta kegiatan penelitian dan penu;isan karya ilmiah. Pada pendidikan dan pengajaran yang berbasis penelitian, perpustakaan memgang peranan yang sangat penting. Ia menjadi jantung sebuah lembaga pendidikan.
4.    Al-Bimaristan
Al-Bimaristan adalah rumah sakit tempat berobat dan merawat orang serta sekaligus berfungsi sebagai tempat melakukan magang dan penelitian bagi calon dokter. Di masa sekarang Al-Baristan dikenal dengan istilah Teaching Hospital (rumah sakit pendidikan).
5.    Kuttab
Kuttab adalah tingkat pertama untuk belajar menulis, membaca atau menghafal al-Qur’an dan mempelajari pokok-pokok dari agama Islam. Disamping itu murid-murid juga mempelajari tata bahasa Arab, cerita-cerita nabi, hadis dan pokok agama. Peserta yang dididik terdiri dari anak-anak dari lapisan sosial manapun. Bahkan, sebagian anak-anak yang kurang mampu diberi makan dan pakaian dengan cuma-cuma. Anak-anak perempuan pun diberi hak belajar yang sama dengan laki-laki. Setalah lulus, maka murid-murid melanjutkan pendidikan ke Masjid.
Anak memerlukan pendidikan dan pelajaran yang lebih intensif agar memperoleh hasil yang diharapkan, tertib dan teratur. Cara demikian ini tidak mungkin dilakukan dirumah. Karena itu diperlukan tempat dan ruang khusus di luar rumah. Menempatkan anak-anak belajar di masjid, akan menimbulkan kegaduhan orang lain yang sedang melaksanakan ibadahnya. Selain itu kebersihan mesjid pun tidak terjamin. Sifat daripada anak-anak adalah aktif selalu bergerak tanpa menghiraukan keadaan sekelilingnya. Jalan keluar dari kesulitan ini adalah mendirikan ruangan khusus di luar rumah dan di luar ruangan masjid. Tempat belajar anak-anak ini kemudian disebut kuttab. Dalam perkembangan selanjutnya, kuttab ini mengalami perubahan-perubahan dan perkembangan bentuk serta sistem organisasinya. Akan tetapi bentuk kuttab yang pertama masih tetap menjalankan fungsinya yang semula, dengan guru-gurunya terdiri dari orang-orang dzimmi yang melulu mengajar menulis dan membaca.
Kuttab ini mulai muncul pada zaman al-Hajjaj ibn Yusuf Ats-tsaqafi. Dalam kuttab ini anak-anak mulai menghafal al-Qur’an secara teratur, karena ia merupakan sumber kehidupan keagaman dan dasar pembinaan yang dibutuhkan oleh setiap muslim. Menurut Prof, Dr, A Salabi “Kuttab dari jenis ini sebagai suatu rumah perguruan untuk umum, adalah hasil perkembangan dari pendidikan putera raja-raja dan pembesarnya.
6.    Masjid
Masjid merupakan pusat pendidikan yang terdiri dari tingkat menengah dan tingkat tinggi. Pendidikan tingkat menengah kembali mendalami al-Qur’an, Tafsir, Hadis, dan Fiqih. Selain itu, murid-murid juga diajarkan kesusasteraan, sajak, gramatika bahasa, ilmu hitung, dan ilmu perbintangan. Masjid dijadikan sebagai pusat aktifitas ilmiah. Pada tingkat menegah gurunya belumlah ulama besar, berbeda halnya dengan tingkat tinggi yang diberi pengajaran oleh ulama yang memiliki ilmu yang mendalam dan termasyhur kealiman dan kesalehannya.
Masjid sangat erat hubungannya dengan sejarah pendidikan Islam, ia merupakan suatu lembaga pendidikan Islam sejak awal dibangun oleh Nabi Muhammad Saw. dari mesjid ini dikumandangkan seruan iman, taqwa, akhlaq dan ajaran-ajaran kemasyarakatan; baik yang berhubungan dengan individu kenegaraan maupun yang berhubungan dengan sosial ekonomi dan sosial budaya yang adil dan beradab serta diridhai Allah Swt. Peranan mesjid sebagai pusat pendidikan dan pengajaran senantiasa terbuka lebar bagi  setiap orang yang merasa dirinya mampu dan cakap untuk memberikan atau mengajarkan ilmunya kepada orang yang hasus akan ilmu pengetahuan. Setelah pelajaran anak-anak di kuttab berakhir, mereka melanjutkan pendidikannya ke tingkat menengah yang dilakukan di masjid. Dalam masjid terdapat dua tingkatan sekolah; tingkat menengah dan tingkat perguruan tinggi.
Pelajaran yang diberikan dalam tingkat menengah dilakukan secara perorangan. Sedang pada tingkat perguruan tinggi dilakukan secara halaqah, murid duduk bersama mengelilingi gurunya yang memberikan pelajaran kepada mereka. Ditingkat menengah diberikan mata pelajaran al-Quran dan Tafsir, Hadits dan Fiqih. Sedangkan pada tingkat perguruan tinggi diberikan pelajaran Tafsir, Hadits, Fikih, dan Syari’at Islam.
7.    Majlis Sastra
Umumnya pelajaran yang diberikan guru kepada muridnya pada tingkat pertama dan menengah dilakukan satu persatu atau perseorangan. Sedangkan pada tingkat tinggi pelajaran diberikan dalam satu halaqah yang dihadiri oleh para pelajar secara bersama-sama. Selain itu, ada pula Majelis Sastra yang merupakan tempat berdiskusi membahas masalah kesusasteraan dan juga sebagai tempat berdiskusi mengenai urusan politik. Perhatian penguasa Umayyah sangat besar pada pencatatan kaidah-kaidah nahwu, pemakaian Bahasa Arab dan mengumpulkan syair-syair Arab dalam bidang Syariah, kitabah dan berkembangnya semi prosa. Bahkan dilakukan pula penterjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain kedalam bahasa Arab.
Majlis Sastra adalah perkembangan dari mesjid yang biasa dilakukan oleh para khulafaur rasyidin bersama para sahabat lainnya untuk bermusyawarah dan diskusi tentang masalah-masalah yang memerlukan pemecahan secara tuntas. Dalam majelis ini para sahabat mempunyai kebebasan yang penuh dalam mengemukakan kritikan-kritikan dan pendapat mereka. Musyawarah dan diskusi mengandung unsur pendidikan yang meliputi pengunaan dan pengendalian akal pikiran serta perasaan dan tata tertib berdasarkan ketentuan-ketentuan atau dalil-dalil yang berlaku. Selain itu dalam majelis ini juga terjadi proses transformasi ilmu pengetahuan, permasalahan yang dikemukakan dan hasil pemecahannya kepada peserta.
Berdasarkan uraikan diatas dapat dikatakan bahwa perkembangan pendidikan Islam tidak lepas dari peranan ulama-ulama yang begitu giat mempelajari ilmu. Para ulama mendirikan madrasah-madrasah pada tiap-tiap kota. Kecintaan para ulama terhadap ilmu membuat mereka tergerak mempelajari ilmu tidak hanya pada satu ulama. Sehingga mereka melakukan pengembaraan ke berbagai tempat untuk menambah ilmu agama.
Ulama-ulama yang ada memiliki murid-murid, jadi ketika ulama tersebut wafat murid-muridnya, ulama tabi’in akan melanjutkan perjuangan untuk menuntut ilmu. Begitu seterusnya sampai kepada kita sekarang. Dengan adanya interaksi yang baik antara guru dan murid inilah yang menciptakan suatu keharmonisan dalam proses pembelajaran berbagai ilmu pengetahuan. Pencarian ilmu yang dilakukan oleh pencinta ilmu yang dilakukan dengan mengembara ke berbagai wilayah atau negara lain untuk belajar kepada ulama tertentu juga mengindikasikan adanya percampuran budaya setempat dengan Islam.


[1] Pusat Bahasa Depdiknas, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga), Jakarta: Balai Pustaka.
[2] Hasan Basri dkk, 2007, Ilmu Kalam: Sejarah dan Pokok Pikiran Aliran-Aliran, (Bandung: Azkia Pustaka Utama), 3-6.
[3] Soekarno dan Ahmad Supardi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Angkasa),  93-130.
[4] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah), 125-126.
 [5] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana), hlm: 127
 [6] Ibid
[7] Ibid
[8] Lukman hakim, “Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam Masa Daulah Umayyah” dalam http//pai_Daulah_umayyah.html., (diakses 10-10-17).
[9]  Ibid