Saturday, January 28, 2017

Ketika Munada Bertemu Ya Mutakalim


Pada kesempatan kali ini saya akan berbagi ilmu yang baru saya dapat kemarin sore, beneran.. bener-bener kemaren sore saya baru ngaji tentang hal ini, hehe…, tentang munada yang diidhofatkan kepada ya mutakalim. Seperti yang kita udah tau, bahwa munada mudhof itu harus mansub, tapi ketika munada diidhofatkan dengan ya mutakalim –walau hukumnya tetep mansub–ada enam dialek bacaan:
1.    Membuang ya dan menetapkan kasroh di huruf terakhir munada
يَا عِبَادِ
“Wahai hamba-hamba-Ku”

Sekilas info: Dialek ini nih yang paling banyak dipake.

2.    Menetapkan ya dengan sukun dan menetapkan kasroh di huruf terakhir munada
يَا عِبَادِيْ
“Wahai hamba-hamba-Ku”

3.    Menetapkan ya dengan harkat fathah dan menetapkan kasroh di huruf terakhir munada
يَا عِبَادِيَ
“Wahai hamba-hamba-Ku”

4.    Menukar ya dengan alif dan menetapkan fathah di huruf terakhir munada
يَا عِبَادَا
“Wahai hamba-hamba-Ku”

5.    Membuang ya dan menetapkan fathah di huruf terakhir munada
يَا عِبَادَ
“Wahai hamba-hamba-Ku”

6.    Membuang alif dan menetapkan dhomah di huruf terakhir munada
يَا عِبَادُ
“Wahai hamba-hamba-Ku”

Itu dia enam dialek bacaan ketika munada bertemu ya mutakalim. Awalnya saya kira Cuma ada satu dialek aja, tapi ternyata ada banyak. So, pesan moral yang bisa kita ambil dari tulisan ini adalah jangan pernah merasa diri sendiri yang paling benar, karena bisa jadi ilmu kita yang belum sampai. Sekian untuk kali ini, semoga tulisan singkat ini bermanfaat, syukron, thanks, hatur nuhun, dan terima kasih.

Wallahu a’lam bishowab.

Sumber: Abdullah ibn Ahmad. 2008. Fawakihul Janiyah. Al-Haramain Jaya Indonesia (hal. 62).

Tuesday, January 17, 2017

5 Kebiasaan Sahabat yang Harus Kita Teladani





1. Sholat Berjama’ah
Para sahabat sepanjang hidupnya senantiasa melaksanakan sholat secara berjamaah. Pahala sholat berjamaah lebih besar berlipat-lipat ganda dibandingkan dengan sholat secara munfarid (sendiri). Kebiasaan haruslah kita jadikan sebagai bagian dari gaya hidup kita. Luangkanlah waktu kita saat waktu-waktu sholat untuk dapat melaksanakan sholat berjamaah. Karena pada hakikatnya Allah lah yang menciptakan waktu, waktu adalah milik Allah, kita hanya ‘dipinjamkan’ untuk dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Maka, jika Allah dengan kasih sayang-Nya telah memberikan waktu kepada kita, apakah layak bagi kita untuk menggunakan waktu itu untuk berpaling dari-Nya?

2. Mengikuti Sunah Nabi
Cinta para Sahabat kepada Nabi, bukanlah cinta yang hanya di mulut saja. Mereka dengan sepenuh hatinya mencintai Nabi. Hal ini ditunjukkan dari kebiasaan mereka yang senantiasa mengikuti sunah Nabi. Segala perintah Nabi, larangan Nabi, kebiasaan Nabi, akhlak Nabi, serta segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, mereka ikuti dengan penuh keihklasan. Hal ini harus kita teladani, jangan sampai kita mengaku cinta kepada Nabi, tetapi tidak pernah mengamalkan sunah-sunahnya. Mengucapkan apa yang tidak dilakukan itu sama dengan munafik, dan orang munafik tidak ada balasan baginya kecuali Neraka.

3. Membaca Al-Qur’an dan Mengamalkannya
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia harus selalu kita baca, pelajari, dan diamalkan. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi SAW, dan menjadi kebiasaan para Sahabat. Sebagai umat Islam kita haruslah senantiasa membaca Al-Qur’an, jangan pernah lewatkan satu hari pun tanpa ada ayat Al-Qur’an yang kita baca. Tidak hanya membacanya, kita juga harus mengamalkannya. Oleh karena itu kita harus mempelajarinya, dengan menghadiri pengajian-pengajian, membaca juga terjemahnya, bertanya kepada ulama jika ada yang belum dimengerti.

4. Dakwah
Dakwah merupakan kewajian bagi kita semua. Dakwah jangan kita artikan secara sempit dengan kata “ceramah” saja. Dakwah lebih luas dari ceramah. Inti dari dakwah adalah menyeru kepada kebaikan dan melarang keburukan. Hal ini dapat kita lakukan dengan banyak cara, dengan ajakan, himbauan, tulisan, bahkan perbuatan. “Sampaikan lah walaupun hanya satu ayat”.

5. Jihad di Jalan Allah
Para Sahabat telah menyerahkan diri sepenuhnya hanya untuk Allah, mereka rela mati untuk membela agama Allah. Hal ini patut kita teladani, namun perlu kita pahami terlebih dahulu apa arti jihad sebenarnya. Jihad bukan sebatas rela mati di medan perang saja, jihad adalah kesungguhan seseorang untuk berserah diri hanya kepada Allah. Sehingga jihad bagi seorang pelajar adalah belajar dengan sungguh-sungguh, jihad bagi orang-orang kaya raya adalah menginfak-kan harta mereka untuk kepentingan agama Islam, jihad bagi pemimpin adalah menjalankan tanggung jawabnya secara amanah, dan seterusnya.

Monday, January 16, 2017

Pacaran Menurut Islam


Pacaran Menurut Islam
Boleh gak sih?







Pacaran itu boleh gak sih menurut Islam?

Langsung saja, pacaran itu dilarang dalam Islam. Mengapa? Karena pacaran dalam bentuk apapun itu, membuka jalan untuk mendekati zina. Dan telah jelas di dalam Al-Qur’an bahwa kita tidak boleh mendekati zina. Firman Allah SWT dalam QS Al-Isra ayat 32:
وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” (QS Al-Isra: 32)
Perhatikan juga QS. An-Nuur ayat 30 berikut ini:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat." (QS An-Nuur: 30)

Ayat tersebut menerangkan bahwa kita harus menahan pandangan terhadap yang bukan mahram bagi kita. Maka bagaimana mungkin kita bisa mengamalkan ayat tersebut jika kita berpacaran? Dengan demikian pacaran itu dilarang dalam agama Islam.

Tapi kita pacarannya cuma lewat sms sama teleponan doang kok, tetep ga boleh?

Sekali lagi pacaran itu dilarang dalam bentuk apapun. Kembali ke QS An-Nuur ayat 30, menjaga pandangan juga berarti menjaga hati serta menjaga pendengaran. Pacaran melalui sms, telepon, atau media sosial lainnya pun, tentunya akan menyita waktu kita untuk hal yang sia-sia. Sedangkan waktu kita ini terlalu berharga untuk dihabiskan untuk hal-hal seperti itu, hal-hal yang dapat membuat kita lalai akan kewajiban kita kepada Allah SWT.

Kalo ga boleh pacaran, gimana kita bisa milih calon istri yang tepat?

Memilih calon pasangan hidup tidak harus dengan berpacaran. Di dalam agama Islam ada ta’aruf, sebuah proses yang sangat berlainan dengan konsep pacaran. Dalam proses ta’aruf, kita mengenal seseorang melalui orang-orang terdekatnya, sehingga kita dapat menentukan apakah dia orang yang cocok dengan kita atau tidak, tanpa harus menjerumuskan dia dan diri kita kepada jalan maksiat melalui pintu yang bernama ’pacaran’.

Tapi saya udah terlanjur cinta sama dia, gimana dong?

Tanya lagi pada diri sendiri, cinta ataukah nafsu yang mendorong anda untuk berpacaran? Cinta ataukah nafsu yang ingin mengikat dia dengan ikatan yang tidak jelas? Cinta ataukah nafsu yang menghendaki untuk bersenang-senang dengannya dengan jalan yang tidak halal? Maka yakinlah itu semua adalah nafsu. Jika memang anda cinta dengan seseorang, tentu anda akan menjaga diri anda dan dirinya untuk terus berada pada jalan Allah, bukan dengan berpacaran.

Jadi gimana caranya pengen pacaran tapi gak ngelanggar hukum Islam?

Pacaran boleh dalam Islam hanya jika setelah menikah. Setelah menempuh proses menghalalkan ini, semua bentuk pacaran yang awalnya haram untuk dilakukan, menjadi boleh bahkan dapat mengandung nilai-nilai ibadah dan berpahala. Jika setelah membaca tulisan ini anda masih ingin berpacaran, maka semua itu terserah anda, hidup itu pilihan, mana yang akan anda pilih, jalan kebaikan atau jalan keburukan?


Monday, January 9, 2017

TAFSIR AL-QURAN SURAT AT-TAHRIM [66] AYAT 6




TAFSIR AL-QURAN SURAT AT-TAHRIM [66] AYAT 6



يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

 “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”


“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” Yaitu kamu perintahkan dirimu dan keluargamu yang terdiri dari isrti, anak, saudara, kerabat, pembantu perempuan dan pembantu laki-laki untuk taat kepada Allah. Dan kamu larang dirimu beserta semua orang yang berada dibawah tanggung jawabmu untuk untuk tidak melakukan kemaksiatan kepada Allah. Kamu ajari dan didik mereka serta pimpin mereka dengan perintah Allah, kamu perintahkan mereka untuk melaksanakannya dan kamu bantu mereka untuk merealisasikannya. Bila kamu melihat ada orang yang berbuat maksiat maka cegah dan larang mereka. Ini merupakan kewajiban setiap muslim, yaitu mengajarkan kepada orang yang berada dibawah tanggung jawabnya segala sesuatu yang telah diwajibkan dan dilarang oleh Allah SWT kepada mereka.
Makna ayat diatas sejalan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud bahwa Rasulullah saw bersabda:
مُرُوْا الصَّبِيَّ بِالصَّلاةِ اِذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِيْنَ فَاِذَا بَلَغَ عَشَرَ سِنِيْنَ فَاضْرِبُوْهُ عَلَيْهَا
“Perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan sholat bila telah mencapai usia tujuh tahun. Bila telah mencapai sepuluh tahun, pukullah mereka bila tidak mau mengerjalkannya.”
Para ahli fiqih mengatakan, demikian pula halnya dengan puasa, agar anak-anak terlatih dalam melakukan peribadatan sehingga di kala dewasa nanti mereka akan tetap menjalani hidup dengan ibadah dan ketaatan, menjauhi kemaksiatan dan meninggalkan kemunkaran.
“Api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (Al-Hijarah) dalam ayat ini ada yang mengatakan sebagai patung-patung yang mereka sembah. Ibnu Mas’ud mengatakan “batu belerang” Mujahid mengatakan, “batu yang baunya lebih busuk dari pada bangkai.”
“Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar.” Yaitu yang tabiatnya kasar. Allah telah mencabut dari hati-hati mereka rasa kasih sayang terhadap orang kafir. “dan keras” yaitu susunan tubuh mereka sangat keras, tebal dan penampilannya yang mengerikan. Wajah-wajah mereka hitam dan taring-taring mereka menakutkan. Tidak tersimpan dalam hati mereka masing-masing rasa kasih sayang terhadap orang-orang kafir, walaupun sebesar dzarrah.“Tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” Yaitu mereka tidak pernah menangguhkan bila dating perintah dari Allah walaupun sekejap mata, padahal mereka bisa saja melakukan hal itu dan mereka tidak mengenal lelah. Mereka itulah malaikat Zabaniah. –kita berlindung kepada Allah dari mereka–


Hai orang-orang yang beriman peliharalah diri kamu antara lain dengan meneladani Nabi, dan pelihara juga keluarga kamu, yakni istri, anak-anak dan seluruh yang berada di bawah tanggung jawab kamu, dengan membimbing dan mendidik mereka agar kamu semua terhindar dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia-manusia yang kafir dan juga batu-batu antara lain yang dijadikan berhala-berhala. Diatasnya, yakni yang menangani neraka itu dan bertuga menyiksa penghuni-penghuninya, adalah malaikat-malaikat yang kasar-kasar, hati dan perlakuannya, yang keras-keras perlakuannya dalam melakanakan tugas penyiksaan, yang tidak mendurhakai Allah manyangkut apa yang Dia perintahkan kepada mereka sehingga siksa yang mereka jatuhkan –kendati mereka kasar– tidak kurang dan tidak berlebih dari apa yang diperintahkan Allah, yakni sesuai dengan dosa dan kesalahan masing-masing penghuni neraka, dan mereka juga senantiasa dan dari saat ke saat mengerjakan dengan mudah apa yang diperintahkan Allah kepada mereka.


“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah diri-diri kamu dan keluarga-keluarga kamu dari api neraka” (pangkal ayat 6).  Di pangkal ayat ini jelas bahwa semata-semata mengakui beriman saja belumlah cukup. Iman mestilah dipelihara dan dipupuk, terutama sekali dengan dasar iman hendaklah orang menjaga diri dan seisi rumah tangga dari api neraka.
“Yang alat penyalanya ialah manusia dan batu.” Batu-batu adalah barang yang tidak berharga yang tercampak dan tersebar dimana-mana. Pada bukit-bukit dan munggu-munggu (karang yang membukit) yang bertebaran di padang pasir terdapatlah beronggok-onggok batu. Batu itulah yang akan dipergunakan untuk jadi kayu api penyalakan api neraka. Manusia yang durhaka kepada Tuhan, hidup di dunia ini tiadalah bernilai karena telah dipenuhi olah dosa, sudah samalah keadaannya dengan batu-batu yang berserak-serak di tengah pasir, di munggu-munggu dan di bukit-bukit atau di sungai-sungai yang mengalir itu. Gunanya hanyalah untuk menyalakan api. “Yang di atasnya ialah malaikat-malaikat yang kasar lagi keras sikap.” Disebut di atasnya karena Allah memberikan kekuasaan kepada malaikat-malaikat itu menjaga dan mengawal neraka itu, agar apinya selalu bernyala, agar alat penyalanya selalu sedia, baik batu ataupun manusia. Sikap malaikat-malaikat pengawal dan penjaga neraka mesti kasar, tidak ada lemah lembutnya, keras sikapnya, tidak ada tenggang-menenggang. Karena itulah sikap yang sesuai dengan suasana api neraka sebagai tempat yang disediakan Allah buat menghukum orang yang bersalah.
“Tidak mendurhakai Allah pada apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan mereka kerjakan apa yang disuruhkan” (ujung ayat 6). Ujung ayat menunjukkan bagaimana keras disiplin dan peraturan yang dijalankan dan dijaga oleh malaikat-malaikat itu. Nampaklah bahwa mereka semuanya hanya semata-semata menjalankan perintah Allah dengan patuh dan setia, tidak membantah dan tidak merubah sedikitpun.
Setelah ayat perintah agar seorang Mu’min memelihara diri dan ahlinya dari nyala api neraka ini turun, bertanyalah Sayidina Umar bin Khattab kepada Rasulullah saw: kita telah memelihara diri sendiri dari api neraka, dan bagaimana pula caranya kita memelihara ahli kita dari neraka? Rasulullah menjawab:
تَنْهَوْنَهُمْ عَمَّانَهَاكُمُ اللهُ وَتَأْمُرُوْنَهُمْ بِمَااَمَرَاللهُ
“Kamu laranglah mereka dari segala perbuatan yang dilarang Allah dan kamu suruhkanlah mereka mengerjakan apa yang diperintahkan Allah.” (Riwayat Al-Qusyairi, dalam tafsir Al-Qurthubi)

Wahai orang-orang yang percaya kepada Allah dan Rasul-Nya hendaklah sebagian dari kamu memberitahukan kepada sebagian yang lain, apa yang dapat menjaga dirimu dari api neraka dan menjauhkan kamu dari padanya, yaitu ketaatan kepada Allah dan menuruti segala perintah-Nya. Dan hendaklah kamu mengajarkan kepada keluargamu perbuatan yang dengannya mereka dapat menjaga diri mereka dari api neraka. Dan bawalah mereka dari yang demikian ini melalui nasehat dan pengajaran. Semakna dengan ayat ini ialah firman-Nya:
öãBù&ur y7n=÷dr& Ío4qn=¢Á9$$Î/ ÷ŽÉ9sÜô¹$#ur $pköŽn=tæ  
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (Thaha [20]: 132)
öÉRr&ur y7s?uŽÏ±tã šúüÎ/tø%F{$#
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (Asy-Syu’ara [26]: 214)
Telah diriwayatkan, bahwa Umar berkata ketika turun ayat itu, “Wahai Rasulullah, kita menjaga diri kita sendiri, tetapi bagaimana kita menjaga keluarga kita?” Rasulullah saw menjawab,”Kamu larang mereka mengerjakan apa yang dilarang Allah untukmu, dan kamu perintahkan kepada mereka apa yang diperintahkan Allah kepadamu, itulah penjagaan antara diri mereka dengan neraka. Telah dikeluarkan oleh Ibnu Munzir dan Al-Hakim di dalam Jama’ah Akharin, dari Ali Karamallahu wajhah, bahwa dia mengatakan tentang ayat itu, “Ajarilah dirimu dan keluargamu kebaikan dan didiklah mereka.” Yang dimaksud dengan al-ahl (keluarga) di sini mencakup isti, anak, budak laki-laki dan perempuan. Di dalam ayat ini terdapat isyarat mengenai kewajiban seseorang suami mempelajari fardu-fardu agama yang diwajibkan baginya dan mengajarkannya kepada mereka. Termuat di dalam hadits:
رَحِمَ اللهُ رَجُلا قَالَ يَااَهْلاهْ : صَلاتَكُمْ صِيَامَكُمْ زَكَاتَكُمْ مِسْكِيْنَكُمْ يَتِيْمَكُمْ جِيْرَانَكُمْ.  لَعَلَّ اللهُ يَجْمَعُكُمْ مَعَهُمْ فِى الْجَنَّةِ
“Allah telah mengasihi seorang lelaki yang mengatakan, wahai keluargaku, jagalah shalatmu, puasamu, zakatmu, orang miskinmu, orang yatimmu dan tetanggamu semoga Allah mengumpulkan kamu dengan mereka di dalam surga”



Friday, January 6, 2017

Muhrim atau Mahram?



Muhrim atau Mahram?

Sering kali kita mendengar kalimat, “Hey jangan dekat-dekat, bukan muhrim!” atau “Ga boleh berduaan sama yang bukan muhrim!” atau bahkan “Awas ya! belum muhrim!”. Tetapi apakah kalimat-kalimat tersebut benar? Apakah penggunaan kata muhrim di sana tepat? Apakah kita benar-benar tahu apa arti muhrim itu sebenarnya? Pada kali ini kita akan membahas tentang arti muhrim sebenarnya.

Muhrim berasal dari Bahasa Arab, artinya orang yang sedang berihram. Apa itu ihram? Ihram adalah keadaan suci ketika seseorang hendak melaksanakan haji atau umrah. Sedangkan mahram (dibaca: mahrom) adalah semua orang yang haram untuk dinikahi karena sebab keturunan, persusuan dan pernikahan dalam syariat Islam. Dengan demikian penggunaan kata muhrim pada kalimat-kalimat di atas sangatlah tidak tepat, kata yang harus kita gunakan ialah kata mahram.

Lalu siapa saja mahram kita?
Mahram terbagi menjadi dua macam: 1. Mahram muabbad, artinya tidak boleh dinikahi selamanya; dan 2. Mahram muaqqot, artinya tidak boleh dinikahi pada kondisi tertentu saja dan jika kondisi ini hilang maka menjadi halal.
Mahram Muabbad
Mahram muabbad dibagi menjadi tiga: 1. Karena nasab, 2. Karena ikatan perkawinan (mushoharoh), 3. Karena persusuan (rodho’ah).
1.        Mahram muabbad karena nasab ada tujuh wanita:
·         Ibu dan ibunya (nenek), ibu dari bapak, dan seterusnya sampai ke atas.
·         Anak dan cucu, dan seterusnya ke bawah.
·         Saudara perempuan seibu sebapak, sebapak atau seibu saja.
·         Saudara perempuan dari bapak.
·         Saudara perempuan dari ibu.
·         Anak perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya.
·         Anak perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya.
2.        Mahram muabbad karena ikatan perkawinan (mushoro’ah) ada empat wanita:
·         Istri dari ayah.
·         Ibu dari istri (ibu mertua).
·         Anak perempuan dari istri (robibah).
·         Istri dari anak laki-laki (menantu).
3.        Mahram muabbad karena persusuan (rodho’ah):
·           Wanita yang menyusui dan ibunya.
·           Anak perempuan dari wanita yang menyusui (saudara persusuan).
·           Saudara perempuan dari wanita yang menyusui (bibi persusuan).
·           Anak perempuan dari anak perempuan dari wanita yang menyusui (anak dari saudara persusuan).
·           Ibu dari suami dari wanita yang menyusui.
·           Saudara perempuan dari suami dari wanita yang menyusui.
·           Anak perempuan dari anak laki-laki dari wanita yang menyusui (anak dari saudara persusuan).
·           Anak perempuan dari suami dari wanita yang menyusui.
·           Istri lain dari suami dari wanita yang menyesui.
Adapun jumlah persusuan yang menyebabkan mahram adalah lima persusuan atau lebih. Inilah pendapat Imam Asy Syafi’i, pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad, Ibnu Hazm, Atho’ dan Thowus. Pendapat ini juga adalah pendapat Aisyah, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Zubair.
Mahram Muaqqot
Artinya, mahram (dilarang dinikahi) yang sifatnya sementara. Wanita yang tidak boleh dinikahi sementara waktu ada delapan.
·           Saudara perempuan dari istri (ipar).
·           Bibi (dari jalur ayah atau ibu) dari istri.
·           Wanita yang telah ditalak tiga, maka ia tidak boleh dinikahi oleh suaminya yang dulu sampai ia menjadi istri dari laki-laki lain.
·           Wanita musyrik sampai ia masuk Islam.
·           Wanita pezina sampai ia bertaubat dan melakukan istibro’ (pembuktian kosongnya rahim).
·           Wanita yang sedang ihrom sampai ia tahallul.
·           Tidak boleh menikahi wanita kelima sedangkan masih memiliki istri yang keempat. 


Tuesday, January 3, 2017

PESANTREN, UNSUR DAN TUJUANNYA




Pesantren, jika dibandingkan dengan lembaga pendidikan yang pernah muncul di Indonesia, merupakan sistem pendidikan yang tertua saat ini dan dianggap sebagai produk budaya Indonesia yang indigenous. Pendidikan ini semula merupakan pendidikan Agama Islam yang dimulai sejak munculnya masyarakat Islam di Nusantara pada abad ke-13. Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dengan munculnya tempat-tempat pengajian. Bentuk ini kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap para pelajar (santri), yang kemudian disebut pesantren (M. Shulton Masyhud dan Moh. Khusnurdilo, 2005: 1).

M. Arifin dalam Amin Haedari dkk., (2004: 26) menyatakan bahwa sistem pendidikan pesantren harus meliputi infrastruktur maupun suprastruktur. Infrastruktur dapat meliputi perangkat lunak (software) seperti kurikulum, metode pembelajaran dan perangkat keras (hardware) seperti bangunan pondok, masjid, sarana dan prasarana belajar. Sedangkan suprastruktur pesantren meliputi yayasan, kyai, santri, ustadz, pengasuh dan para pembantu kyai atau ustadz. Sedangkan Hasbi Indra (2003: 218) mengutip pendapat Zamakhsyari Dhofier yang menyatakan bahwa pondok pesantren terdiri dari empat unsur utama yaitu pondok, masjid, santri, dan kyai. Dari empat unsur tersebut, yang paling besar pengaruhnya ialah kyai. Maka sang kyai adalah orang yang akan menentukan arah dan tujuan pondok pesantren, termasuk sistem pembelajarannya.

Sebagai suatu lembaga pendidikan, pesantren tentu memiliki tujuan-tujuan. Adapun tujuan pondok pesantren berdasarkan musyawarah (lokakarya) Intensifikasi Pengambangan Pondok Pesantren di Jakarta pada tanggal 2 sampai dengan 6 Mei 1978 yang dikutip oleh Mujamil Qomar (2008: 6-7), menghasilkan bahwa tujuan pondok pesantren terbagi menjadi tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum pesantren adalah membentuk seseorang agar memiliki kepribadian muslim sesuai dengan ajaran-ajaran Agama Islam serta menjadikannya sebagai orang yang berguna bagi agama, masyarakat, dan Negara. Sedangkan tujuan khusus pesantren diantaranya:

  • Mendidik santri untuk menjadi seorang Muslim yang bertaqwa kepada Allah SWT., berakhlak mulia, memiliki kecerdasan, keterampilan, dan sehat lahir batin.
  • Mendidik santri untuk menjadi kader-kader ulama dan mubaligh yang berjiwa ikhlas, tabah, tangguh, wiraswasta dalam mengamalkan ajaran Islam.
  • Mendidik santri untuk menumbuhkan semangat sebagai manusia-manusia pembangunan yang bertanggung jawab dalam membangun diri, Bangsa, dan Negaranya.
  • Mendidik santri untuk dapat membantu meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat dalam rangka usaha pembangunan Bangsa.

Sumber Gambar : https://cdn.ar.com/images/stories/2011/08/pondok-pesantren.jpg