PENDIDIKAN
ISLAM MASA DAULAH UMAYYAH
A.
Daulah Umayyah
Secara bahasa kata “daulah” berasal dari bahasa
Arab, yaitu dala-yadulu-daulah yang berarti bergilir, beredar atau
berputar. Sedangkan secara istilah, daulah merujuk pada satu
kelompok sosial yang menetap dan menguasai
suatu daerah tertentu. Sehingga daulah diartikan sebagai negara,
pemerintahan, kerajaan, ataupun dinasti. Kata daulah sebenarnya bukan
kata baku menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia.[1] Bentuk baku
dari kata daulah adalah daulat. Namun untuk menunjuk kepada sistem
pemerintahan Timur Tengah, kata daulah yang sering digunakan.
Sementara itu kata Daulah Umayyah merujuk pada satu pemerintahan (khalifah) yang didirikan oleh
Muawiyyah bin Abu Sufyan pada tahun 41 H atau 661 M dan berakhir pada tahun 132 H atau 750 M. Kata Umayyah
diambil dari nama Umayyah bin Abdi Syam bin Abdi Manaf yang merupakan seorang
pemimpin suku Quraisy pada zaman jahiliyah. Mulai dari daulah
ini, sistem pemerintahan muslim yang semula bersistem musyawarah (demokrasi)
berubah menjadi sistem Monarchy Herdity (kekuasaan turun-temurun). Daulah
Umayyah beribu kota di Damaskus.
Sejarah berdirinya Daulah Umayyah
dimulai sejak terbunuhnya Khalifah Ustman lalu Ali dibaiat menjadi khalifah, terjadi
konflik antara Ali dengan Muawiyah dan pecah dalam perang Siffin. Ketika
pasukan Ali hampir menang, Amr Bin ‘Ash menasehati Muawiyah
agar pasukannya mengangkat mushaf-mushaf Al-Qur’an untuk melakukan perdamaian.
Akhirnya Ali menerima tahkim, sehingga terjadi perpecahan diantara
pendukung Ali. Keputusan yang dihasilkan oleh wakil pihak Ali (Abu Musa Al-Asy’ari)
dan pihak Mu’awiyah, justru memperkuat kedudukan Muawiyah dan golongan yang
mendukungnya.[2]
Keberuntungan Muawiyyah berikutnya adalah
keberhasilan pihak Khawarij membunuh Khalifah Ali sehingga jabatan khalifah
setelah Ali dipegang oleh putranya yaitu Hasan bin Ali selama beberapa bulan
akan tetapi karena tidak didukung pasukan yang kuat sedangkan pihak Muawiyah
semakin kuat akhirnya dia melakukan perjanjian dengan Hasan bin Ali, isi
perjanjian itu adalah bahwa pergantian pemimpin akan di serahkan kepada umat Islam
setelah masa kepemimpinan Muawiyah berakhir. Perjanjian ini dibuat pada tahun 41
H atau 661 M dan tahun ini disebut ‘Am Jama’at, karena perjanjian ini
mempersatukan umat Islam menjadi satu kepemimpinan politik yaitu kepemimpinan Muawiyyah.[3]
Diantara program besar Daulah Umayyah adalah perluasan wilayah Islam. Di zaman Muawiyah Tunisa dapat
ditaklukan. Di sebelah Timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai
ke sungai Axus dan Afghanistan hingga ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan
serangan-serangan ke ibu kota Bizantium dan Konstantinopel. Ekspansi ke timur
yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Abdul Malik. Dia mengirim tentara menyeberangi sungai Axus dan berhasil menundukan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana, dan
Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan,
Sind, dan daerah Punyab sampai ke Maltan. Selanjutnya ekspensi secara
besar-besaran dilanjutkan pada zaman al-Walid bin Abdul Malik. Sejarah mencatat
bahwa masa pemerintahan al-Malik adalah masa ketentraman, kemakmuran, kertiban,
dan kebahagiaan.[4]
Dalam bidang keagamaan,
pada masa Daulah Umayyah ditandai dengan munculnya berbagai aliran keagamaan
yang bercorak politik ideologis. Mereka itu antara lain golongan Syi’ah,
Khawarij dengan berbagai sektenya: Azariqah, Najdat Aziriyah, Ibadiyah,
Ajaridah dan Shafariyah, golongan Mu’tazilah, Maturidiyah, Asy’ariyah,
Qadariyah, dan Jabariyah.
B. Perkembangan Pendidikan Islam Masa
Daulah Umayyah
Pada masa Daulah Umayyah berkembangnya
pendidikan Islam tidak lepas dari perluasan wilayah negara Islam yang diikuti
oleh para ulama dan guru-guru agama yang juga ikut bersama-sama tentara Islam. Pada
zaman Daulah Umayyah ada tiga gerakan yang berkembang, yaitu: Gerakan Ilmu
Agama, karena didorong semangat agama sendiri yang sangat kuat pada waktu itu; Gerakan
Filsafat, karena ahli agama di akhir Daulah Umayyah
mempergunakan filsafat untuk melawan Yahudi dan Naṣrani; Gerakan
Sejarah, karena ilmu-ilmu agama memerlukan riwayat.[5]
1.
Gerakan Ilmu
Agama
a.
Pusat
Pendidikan Islam
Pusat pendidikan telah
tersebar di kota-kota besar seperti kota Makkah dan Madinah
(Hijaz), di kota Baṣrah dan Kufah (Irak), di kota Damsyik dan Palestina (Syam),
di kota Fistat (Mesir). Madrasah-madrasah yang ada
pada masa Daulah Umayyah adalah sebagai berikut:
1)
Madrasah Makkah
Muaz bin Jabal
adalah guru pertama yang mengajar di Makkah, sesudah pendudukan Makkah takluk.
Ia mengajarkan al-Quran dan mana yang halal dan haram. Pada masa khalifah Abdul
Malik bin Marwa, Abdullah bin Abbas pergi ke Makkah dan mengajar di masjidil
Haram, ia mengajar ilmu tafsir, fiqih dan sastra. Ia adalah pembangun madrasah
Makkah. Kemudian ia digantikan murid-muridnya yaitu Mujahid bin Jabar
(meriwayatkan tafsir Al-Qur’an dari Ibnu Abbas), ‘Athak bin Abu Rabah (ilmu
fiqih terutama manasik haji), dan Thawus (seorang fuqaha dan mufti). Ketiga
guru itu meninggal dan digantikkan oleh Sufyan bin ‘Uyainah dan muslim bin
Khalid Az-Zanji. Keduanya adalah guru imam Syafi’i yang pertama. Kemudian ia
hijrah ke Madinah berguru pada Imam Malik.
2)
Madrasah
Madinah
Madrasah
Madinah adalah tempat para sahabat menuntut ilmu. Adapun ulama-ulama di Madinah
adalah Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Sabit, dan Abdullah bin
Umar bin Khattab. Namun, yang aktif mengajar agama Islam adalah Zaid bin Sabit
(ahli qiraat dan ahli fiqih, khususnya dalam faraid), dan
Abdullah bin Umar (ahli hadits). Setelah para ulama wafat digantikan oleh
murid-muridnya, tabi’in, yaitu Sa’id bin Al-Musaiyab (murid Zaid bin Sabit),
dan ‘Urwah bin Az-Zubair bin Al-Awam. Sesudah tingkat tabi’in digantikan oleh
Ibnu Syihab Az-Zuhri al-Quraisyi (ahli fiqih dan hadits). Madrasah Madinah ini
melahirkan Imam Malik bin Anas, Imam Madinah.
3)
Madrasah Basrah
Ulama sahabat
yang terkenal di Basrah adalah Abu Musa Al-Asy’ari (ahli fiqih, ahli hadis, dan
ahli al-Qur’an) dan Anas bin Malik (ilmu hadis). Madrasah Basrah melahirkan
ulama terkenal, besar, berbudi tinggi, saleh, fasih lidahnya, dan berani
mengeluarkan pendapatnya, ia adalah Al-Hasan Basry (ahli fiqih, ahli pidato dan
kisah, ahli fikir, serta ahli tasawuf). Ada pula Ibnu Sirin yang pernah belajar
pada Zaid bi Sabit, Anas bin Malik, dan lain-lain. Ia ahli hadis dan hidup
semasa dengan al-Hasan Basry.
4)
Madrasah Kufah
Ulama di Kufah
ialah Ali bin Abu Talib dan Abdullah bin Mas’ud. Ali lebih banyak menangani
politik dan urusan peperangan. Sedangkan Ibnu Mas’ud mengajarkan ilmu al-Qur’an
dan ilmu agama, ia juga ahli tafsir dan ahli fiqih. Madrasah Kufah melahirkan
Nu’man, Abu Hanifah.
5)
Madrasah
Damsyik (Syam)
Madrasah Agama
di Syam didirikan oleh Mu’az bin Jabal, ‘Ubadah dan Abud-Dardak. Ketiganya
mengajar Al-Qur’an dan ilmu agama di negeri Syam pada tiga tempat, yaitu
Abud-Dardak di Damsyik, Mu’az bin Jabal di Palestina dan ‘Ubadah di Hims.
Selanjutnya mereka di gantikan oleh murid-muridnya, tabi’in, seperti Abu Idris
Al-Khailany, Makhul Ad-Dimasyki, Umar bin Abdul Aziz dan Rajak bin Haiwah.
Madrasah ini melahirkan imam penduduk Syam, yaitu Abdurrahman al-Auza’iy yang
ilmunya sederajat dengan imam Malik dan Abu Hanifah. Namun, mazhabnya yang
tersebar di Syam sampai ke Maghrib dan Andalusia lenyap karena pengaruh mazhab
Syafi’i dan Maliki.
6)
Madrasah Fistat
(Mesir)
Ketika Mesir
telah menjadi negara Islam, Mesir menjadi pusat ilmu-ilmu agama. Di Mesir
mempunyai madrasah yang didirikan oleh Abdullah bin ‘Amr bin al-‘As.
Ulama-ulama yang ada di Mesir yaitu Yazid bin Abu Habib An-Nuby. Ia menyiarkan
ilmu fiqhi dan menjelaskan apa saja yang haram dan halal dalam agama Islam.
selain itu ada pula Abdullah bin Abu Ja’far bin Rabi’ah. Yazid mempunyai murid
bernama Abdullah bin Lahi’ah dan al-Lais bin Said. Abdullah tidak hanya belajar
kepada Yazid, tetapi juga kepada tabi’in. Sedangkan al-Lais pernah menuntut
ilmu di Mesir, Makkah, Baitul-Maqdis, dan Baghdad. Ia bahkan berhubungan dengan
imam Malik dan berkiriman surat.
b.
Materi Pendidikan
Islam
Materi atau ilmu-ilmu
agama yang berkembang pada zaman ini dapat dimasukan dalam kelompok Al-Ulumul
Islamiyyah yaitu ilmu-ilmu Al-Quran, Al-Hadits, Al-Fiqih, At-Tarikh,
Al-Ulumul Lisaniyyah dan Al-Jughrofi. Sedangkan Al-Ulumul
Islamiyah dapat dibagi menjadi tiga bagian : Al-Ulumul Syar'iyah,
yaitu ilmu-ilmu agama Islam; Al-Ulumul Lisaniyyah, yaitu ilmu-ilmu untuk
memastikan bacaan Al-Quran, menafsirkan dan memahami Hadits; At-Tarikh wal
Jughrofi.
1)
Ilmu Qira’at
Ilmu Qira’at yaitu ilmu cara membaca Al-Quran.
Orang yang pandai membaca Al-Quran disebut Qurrā. Pada zaman ini pula yang
memunculkan tujuh macam bacaan Al-Quran yang terkenal dengan "Qiraat Tujuh"
yang kemudian ditetapkan menjadi dasar bacaan (Ushulul Lil Qira'ah). Pelopor
bacaan ini terdiri dari kaum Malawy yaitu antara lain: ‘Abdullah bin Kathir, ‘Ashim bin Abu
Nujud, ‘Abdullah bin Amir, ‘Ali bin Hamzah
dan lain-lain.
2)
Ilmu Tafsir
Ilmu Tafsir merupakan ilmu yang berusaha untuk
memberikan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Quran dengan tujuan untuk
menghasilkan hukum dan undang-undang. Ahli tafsir yang pertama yaitu Ibnu
Abbās, seorang Ṣahabat terkenal yang wafat pada tahun 68 H. Menurut riwayat
yang mutawatir beliau adalah orang yang pertama menafsirkan Al-Quran dengan
cara riwayat dan isnad. Ahli tafsir lainnya adalah Mujāhid yang wafat pada
tahun 109 H dan ulama Syi'ah yaitu
Muḥammad al-Baqir bin ‘Ali bin Husain.
3) Ilmu
Hadits
Untuk membantu di dalam memahami ayat-ayat Al-Quran. Karena
terdapat banyak hadith maka timbul-lah usaha untuk mencari riwayat dan sanad
yang hadith yang akhirnya menjadi Ilmu Hadith dengan segala cabang-cabangnya. Para ahli hadith yang terkenal pada zaman ini adalah: Abu Bakar bin
Muḥammad bin ‘Ubaidillah bin Zihab az-Zuhri (123 H). Ibnu Abi Malikiyyah, yaitu
‘Abdullah bin Abi Malikiyyah (119 H). Pada masa khalifah ‘Umar bin ‘Abd
al-‘Azīz barulah hadith dibukukan yang dirintis oleh Ibnu Zihab az-Zuhri yang
kemudian disusul oleh ulama lain.
4) Ilmu Nahwu
Ilmu Nahwu adalah ilmu tentang perubahan bunyi pada kata-kata yang terdapat di dalam
Al-Quran. Pengarang ilmu nahwu yang pertama dan membukukannya seperti halnya
sekarang, yaitu Abu Aswad ad-Dualy (W. 69 H). Beliau belajar dari ‘Ali bin Abi
Ṭālib sehingga ada ahli sejarah yang mengatakan bahwa ‘Ali bin Abi Ṭālib adalah
Bapak Ilmu Nahwu.
5) Ilmu Jughrofi
Tentang ilmu jughrofi
sekalipun bukan berasal dari bangsa arab, namun bangsa Arab muslim telah
membuat ilmu ini menjadi satu ilmu yang tersendiri oleh karena tiga sebab:
Al-Hajj yang menjadi salah satu rukun Islam. Untuk menunaikan rukun haji kaum
Muslimin di seluruh penjuru dunia harus mengetahui ilmu bumi; Al-Ilmu,
kewajiban menuntut ilmu bagi kaum muslimin, mengharuskan mereka melakukan Rihlah
Ilmiyah untuk menuntut ilmu, hal mana mengharuskan kaum muslimin mengetahui
ilmu bumi; Dakwah, keharusan berdakwah dan berjihad untuk mengembangkan Islam,
juga mengharuskan kaum muslimin mengetahui ilmu bumi. Tiga sebab ini disamping
sebab-sebab lain yang mendorong orang Yunani lama untuk membuat ilmu bumi yaitu
kepentingan dagang dan perang. Ilmu Jughrofi dalam masa Daulah
Umayyah baru dalam taraf merintis jalan.[6]
Sedangkan ilmu-ilmu yang
disalin dari bahasa Asing ke dalam bahasa Arab yang kemudian disempurnakan untuk kepentingan keilmuan umat Islam, dikelompok-kan dalam Al-Ulumud Dakhilah yang terdiri dari:
1)
Ilmu Kimia.
Khalifah Yazīdh bin Yazīdh bin Mu’āwiyyah adalah yang menyuruh
penerjemahannya ke dalam bahsa Arab. Beliau mendatangkan beberapa orang Romawi yang
bermukim di Mesir, di antaranya Maryanis seorang pendeta yang mengajarkan ilmu
kimia. Penerjemahan ke dalam bahasa Arab dilakukan oleh Isthafun.
2)
Ilmu Bintang
Masih dalam masa Khālid bin Walīd,
beliau sangat menggemari ilmu ini sehingga dikeluarkan sejumlah uang untuk
mempelajari dan membeli alat-alatnya. Karena gemarnya setiap akan pergi ke
medan perang selalu dibawanya ahli ilmu bintang.
3)
Ilmu Kedokteran
Penduduk Syam di jaman ini telah banyak menyalin bermacam ilmu ke dalam
bahasa Arab seperti ilmu-ilmu kedokteran, mislanya karangan Qis Ahrun dalam
bahasa Suryani yang disalin ke dalam bahasa Arab oleh Masajuwaihi.[7]
2.
Gerakan
Filsafat
Gerakan filsafat muncul di akhir zaman Daulah
Umayyah untuk melawan pemikiran Yahudi dan Nasrani. Pemikiran teologis dari
agama Kristen sudah berkembang lebih dulu sebelum datangnya Islam dan masuk ke
lingkungan Islam secara sengaja untuk merusak akidah Islam. Karena itu timbul
dalam Islam pemikiran yang bersifat teologis untuk menolak ajaran-ajaran
teologis dari agama Kristen yang kemudian disebut Ilmu Kalam.
Ilmu kalam dalam perkembangannya menjadi ilmu
khusus yang membahas tentang berbagai macam pola pemikiran yang berbeda dari
ajaran Islam sendiri, karena dalam Al-Quran terdapat banyak ayat yang
memerintahkan untuk membaca, berfikir, menggunakan akal dan sebagainya yang
kesemuanya mendorong umat Islam, terutama para ahlinya untuk berfikir mengenai
segala sesuatu guna mendapatkan kebenaran dan kebijaksnaan.
3.
Gerakan Sejarah
Pada zaman Daulah Umayyah gerakan
sejarah menghasilkan tarikh yang terbagi dalam dua bidang besar:
a.
Tarikh Islam, yaitu tarikh kaum muslimin dengan
segala perjuangannya, riwayat hidup
pemimpin-pemimpin mereka. Sumber tarikh dalam bidang ini adalah dari amal
perbuatan mereka sendiri.
b.
Tarikh Umum, yaitu tarikh bangsa-bangsa lain
yang dipelajari dan disalin dengan sungguh-sungguh sejak zaman Daulah
Umayyah. Hal ini karena khalifah mereka
termasuk orang-orang yang paling gemar untuk mengetahui orang-orang ternama
dari tarikh bangsa lain.[8]
C. Pola Pendidikan Islam Masa Daulah Umayyah
Pada masa Daulah Umayyah terdapat dua jenis pendidikan yang berbeda sistem dan
kurikulumnya, yaitu pendidikan khusus dan pendidikan umum. Pendidikan khusus
adalah pendidikan yang dislenggarakan dan diperuntukkan bagi anak-anak khalifah
dan anak-anak pembesarnya. Kurikulumnya diarahkan untuk memperoleh kecakapan
memegang kendali pemerintahan, atau hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan keperluan dan kebutuhan pemerintahan. Tempat pendidikannya di istana dan
guru-gurunya ditunjuk dan diangkat oleh khalifah dengan mendapat jaminan hidup
(gaji). Sedangkan pendidikan khusus adalah pendidikan yang diperuntukkan bagi
rakyat biasa. Pendidikan ini merupakan kelanjutan dari pendidikan yang telah
dilaksakan sejak zaman Nabi masih hidup, ia merupakan sarana yang amat penting
bagi kehidupan agama. Karena ia merupakan lanjutan dari pendidikan sebelumnya,
maka kurikulum yang digunakan pun sama dengan kurikulum sebelumnya. Yang
bertanggungjawab atas kelancaran pendidikan ini adalah para Ulama, merekalah
yang memikul tugas mengajar dan membimbing rakya. Mereka bekerja atas dasar
dorongan moral serta tanggung jawab agama, bukan atas dasar penunjukkan dan
pengangkatan oleh pemerintahan. Karena itu mereka tidak memperoleh jaminan
(gaji) dari pemerintah.
Pola pendidikan yang berkembang pada masa ini
sebenarnya sama dengan pendidikan yang berkembang pada masa sekarang.
Pendidikan yang ada pada waktu itu terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu,
tingkat pertama, tingkat menengah, dan tingkat tinggi. Lembaga-lembaga pendidikan yang berkembang pada zaman Daulah Umayyah,
selaibn masjid, kuttab, dan rumah sebagaiman yang telah ada sebelumnya, juga
ditambah dengan lembaga pendidikan seperti Istana, Badiah, Perpustakaan,
Al-Bimaristan, Kuttab, Masjid, dan Majelis Sastra.[9]
1.
Istana
Pendidikan di Istana bukan saja mengajarkan ilmu pengetahuan umum,
melainkan juga mengajarkan tentang kecerdasan, jiwa, dan raga anak.
2.
Badiah
Lembaga pendidikan Badiah ini muncul seiring dengan kebijakan
pemerintah Daulah Umayyah untuk melakukan program arabisasi yang digagas oleh
khalifa Abdul Malik ibn Marwan. Secara harfiah Badiah artinya dusun
badui di Padang Sahara yang didalamnya
terdapat bahasa Arab yang masih fasih dan murni sesuai dengan kaidah bahasa
Arab.
3.
Perpustakaan
Perpustakaan tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan dan
perkembangan ilmu pengetahuan serta kegiatan penelitian dan penu;isan karya
ilmiah. Pada pendidikan dan pengajaran yang berbasis penelitian, perpustakaan
memgang peranan yang sangat penting. Ia menjadi jantung sebuah lembaga
pendidikan.
4.
Al-Bimaristan
Al-Bimaristan adalah rumah sakit tempat berobat dan merawat orang serta
sekaligus berfungsi sebagai tempat melakukan magang dan penelitian bagi calon
dokter. Di masa sekarang Al-Baristan dikenal dengan istilah Teaching
Hospital (rumah sakit pendidikan).
5.
Kuttab
Kuttab adalah tingkat pertama untuk belajar menulis,
membaca atau menghafal al-Qur’an dan mempelajari pokok-pokok dari agama Islam.
Disamping itu murid-murid juga mempelajari tata bahasa Arab, cerita-cerita
nabi, hadis dan pokok agama. Peserta yang dididik terdiri dari anak-anak dari
lapisan sosial manapun. Bahkan, sebagian anak-anak yang kurang mampu diberi
makan dan pakaian dengan cuma-cuma. Anak-anak perempuan pun diberi hak belajar
yang sama dengan laki-laki. Setalah lulus, maka murid-murid melanjutkan
pendidikan ke Masjid.
Anak memerlukan pendidikan
dan pelajaran yang lebih intensif agar memperoleh hasil yang diharapkan, tertib
dan teratur. Cara demikian ini tidak mungkin dilakukan dirumah. Karena itu
diperlukan tempat dan ruang khusus di luar rumah. Menempatkan anak-anak belajar di masjid, akan menimbulkan kegaduhan orang
lain yang sedang melaksanakan ibadahnya. Selain itu kebersihan mesjid pun tidak
terjamin. Sifat daripada anak-anak adalah aktif selalu bergerak tanpa
menghiraukan keadaan sekelilingnya. Jalan keluar dari kesulitan ini adalah
mendirikan ruangan khusus di luar rumah dan di luar ruangan masjid. Tempat
belajar anak-anak ini kemudian disebut kuttab. Dalam perkembangan selanjutnya, kuttab ini mengalami perubahan-perubahan
dan perkembangan bentuk serta sistem organisasinya. Akan tetapi bentuk kuttab
yang pertama masih tetap menjalankan fungsinya yang semula, dengan guru-gurunya
terdiri dari orang-orang dzimmi yang melulu mengajar menulis dan
membaca.
Kuttab ini mulai muncul
pada zaman al-Hajjaj ibn Yusuf Ats-tsaqafi. Dalam kuttab ini anak-anak mulai
menghafal al-Qur’an secara teratur, karena ia merupakan sumber kehidupan
keagaman dan dasar pembinaan yang dibutuhkan oleh setiap muslim. Menurut Prof,
Dr, A Salabi “Kuttab dari jenis ini sebagai suatu rumah perguruan untuk umum,
adalah hasil perkembangan dari pendidikan putera raja-raja dan pembesarnya.
6.
Masjid
Masjid merupakan pusat pendidikan yang terdiri dari
tingkat menengah dan tingkat tinggi. Pendidikan tingkat menengah kembali
mendalami al-Qur’an, Tafsir, Hadis, dan Fiqih. Selain itu, murid-murid juga
diajarkan kesusasteraan, sajak, gramatika bahasa, ilmu
hitung, dan ilmu perbintangan. Masjid dijadikan sebagai pusat aktifitas
ilmiah. Pada tingkat menegah gurunya belumlah ulama besar, berbeda halnya
dengan tingkat tinggi yang diberi pengajaran oleh ulama yang memiliki ilmu yang
mendalam dan termasyhur kealiman dan kesalehannya.
Masjid sangat erat hubungannya dengan sejarah pendidikan Islam, ia merupakan
suatu lembaga pendidikan Islam sejak awal dibangun oleh Nabi Muhammad Saw. dari
mesjid ini dikumandangkan seruan iman, taqwa, akhlaq dan ajaran-ajaran
kemasyarakatan; baik yang berhubungan dengan individu kenegaraan maupun yang
berhubungan dengan sosial ekonomi dan sosial budaya yang adil dan beradab serta
diridhai Allah Swt. Peranan mesjid sebagai
pusat pendidikan dan pengajaran senantiasa terbuka lebar bagi setiap orang yang merasa dirinya mampu dan
cakap untuk memberikan atau mengajarkan ilmunya kepada orang yang hasus akan
ilmu pengetahuan. Setelah pelajaran anak-anak di kuttab berakhir, mereka
melanjutkan pendidikannya ke tingkat menengah yang dilakukan di masjid. Dalam masjid terdapat dua tingkatan sekolah; tingkat menengah dan tingkat perguruan
tinggi.
Pelajaran yang diberikan
dalam tingkat menengah dilakukan secara perorangan. Sedang pada tingkat
perguruan tinggi dilakukan secara halaqah, murid duduk bersama mengelilingi
gurunya yang memberikan pelajaran kepada mereka. Ditingkat menengah diberikan
mata pelajaran al-Quran dan Tafsir, Hadits dan Fiqih. Sedangkan pada tingkat
perguruan tinggi diberikan pelajaran Tafsir, Hadits, Fikih, dan Syari’at Islam.
7.
Majlis Sastra
Umumnya
pelajaran yang diberikan guru kepada muridnya pada tingkat pertama dan menengah
dilakukan satu persatu atau perseorangan. Sedangkan pada tingkat tinggi
pelajaran diberikan dalam satu halaqah yang dihadiri oleh para pelajar secara
bersama-sama. Selain itu, ada pula Majelis Sastra yang merupakan tempat
berdiskusi membahas masalah kesusasteraan dan juga sebagai tempat berdiskusi
mengenai urusan politik. Perhatian penguasa Umayyah sangat besar pada
pencatatan kaidah-kaidah nahwu, pemakaian Bahasa Arab dan mengumpulkan
syair-syair Arab dalam bidang Syariah, kitabah dan berkembangnya semi prosa.
Bahkan dilakukan pula penterjemahan ilmu-ilmu dari bahasa lain kedalam bahasa
Arab.
Majlis Sastra adalah
perkembangan dari mesjid yang biasa dilakukan oleh para khulafaur rasyidin
bersama para sahabat lainnya untuk bermusyawarah dan diskusi tentang
masalah-masalah yang memerlukan pemecahan secara tuntas. Dalam majelis ini para
sahabat mempunyai kebebasan yang penuh dalam mengemukakan kritikan-kritikan dan
pendapat mereka. Musyawarah dan diskusi
mengandung unsur pendidikan yang meliputi pengunaan dan pengendalian akal
pikiran serta perasaan dan tata tertib berdasarkan ketentuan-ketentuan atau
dalil-dalil yang berlaku. Selain itu dalam majelis ini juga terjadi proses
transformasi ilmu pengetahuan, permasalahan yang dikemukakan dan hasil
pemecahannya kepada peserta.
Berdasarkan
uraikan diatas dapat dikatakan bahwa perkembangan pendidikan Islam tidak lepas
dari peranan ulama-ulama yang begitu giat mempelajari ilmu. Para ulama mendirikan
madrasah-madrasah pada tiap-tiap kota. Kecintaan para ulama terhadap ilmu
membuat mereka tergerak mempelajari ilmu tidak hanya pada satu ulama. Sehingga
mereka melakukan pengembaraan ke berbagai tempat untuk menambah ilmu agama.
Ulama-ulama
yang ada memiliki murid-murid, jadi ketika ulama tersebut wafat murid-muridnya,
ulama tabi’in akan melanjutkan perjuangan untuk menuntut ilmu. Begitu
seterusnya sampai kepada kita sekarang. Dengan adanya interaksi yang baik
antara guru dan murid inilah yang menciptakan suatu keharmonisan dalam proses
pembelajaran berbagai ilmu pengetahuan. Pencarian ilmu yang dilakukan oleh
pencinta ilmu yang dilakukan dengan mengembara ke berbagai wilayah atau negara
lain untuk belajar kepada ulama tertentu juga mengindikasikan adanya
percampuran budaya setempat dengan Islam.
[1] Pusat Bahasa
Depdiknas, 2002, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Edisi Ketiga), Jakarta: Balai Pustaka.
[2] Hasan
Basri dkk, 2007, Ilmu Kalam: Sejarah dan Pokok Pikiran Aliran-Aliran, (Bandung:
Azkia Pustaka Utama), 3-6.
[7] Ibid
[8] Lukman
hakim, “Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam Masa Daulah Umayyah”
dalam http//pai_Daulah_umayyah.html., (diakses 10-10-17).